Komunikasi Produktif #9: Komunikasikan Dulu!


Pernah nonton sitkom Suami-suami Takut Istri? Di sitkom itu digambarkan bagaimana istri memegang kendali penuh atas rumah tangga. Sedangkan suami, macem sembunyi di balik ketiak istri.

Entah, di belahan bumi yang mana, tapi kondisi semacam ini ada. Latar belakangnya banyak, mulai dari perempuan yang nggak mau ditindas, maunya sejajar, dan seterusnya. Tentu, kalau kita mau tarik lagi sebabnya ke belakang, ada sesuatu yang terekam dalam alam bawah sadar perempuan ini. Akhirnya, kondisi yang dilakukan setelah berumah tangga ya begitu itu.

"Kamu harus punya uang, supaya kamu bisa lebih dihargai suamimu."

Ini kalimat yang secara nyata pernah kita dengar di belahan bumi mana pun. Sekali lagi, barangkali yang mengucapkannya pernah tidak dihargai oleh suaminya karena tidak bekerja atau bahkan keluarganya sendiri. Entah yang mana.

Bagi saya, suami adalah sahabat juga qawwam bagi saya. Sekali pun mampu, saya berusaha untuk mengkomunikasikan semuanya pada beliau. Mulai dari hal remeh hingga pertimbangan besar yang dampaknya harus kami tanggung bersama.

Intinya sih, saya nggak mau posisi suami saya ada di bawah ketiak saya. Beliau harus tetap menjadi qawwam. Pemimpin. Penentu arah rumah tangga ini mau dibawa ke mana.

That's why, saya akan berusaha untuk bilang dulu ke suami. Izin dulu. Boleh nggak kalau begini? Boleh nggak kalau begitu? Bahkan, ketika saya membelanjakan uang saya sekali pun, biasanya tetap akan bilang. Karena terbiasa.

Walaupuuuuun...

Tidak selalu berjalan demikian. Ini sepenuhnya karena kekurangan saya yang suka grusa-grusu. Terburu-buru dalam mengambil keputusan. Contohnya, tadi pagi, saat ada tukang loak yang datang ke rumah untuk mengambil barang yang dijanjikan suami.

Saya hubungi suami, tapi belum juga terkirim. Ini kebodohan juga sih nggak minta bapaknya kembali saat hari libur. Saya biarkan aja si bapak ambil beberapa kardus dari dalam rumah. Bahkan, sebetulnya saya nggak berminat untuk mengambil uang dari si bapak. Selesai. Kardus-kardus diangkut. Si bapak pergi.

Suami saya membalas pesan saya dan kesal karena kardus-kardus sudah diangkut. Suami sudah pesan ke bapak untuk datang hari libur, tapi beliau datang hari ini. Kesal kuadrat beliau.

Rasanya, nggak enak banget jadinya. Ini sepele sih, saya ambil keputusan tanpa pertimbangan suami. Dan, yang bikin menyesal lagi adalah sudah memasukkan laki-laki asing ke dalam rumah. Astaghfirullah...

Menyesal sekali.

Kenapa saya terburu-buru? Kenapa tidak menunggu kabar dari suami dulu? Dan kenapa-kenapa yang lain yang terus berputar dalam kepala saya.

"Maaf ya, Mas."

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.