Menyiapkan Dana Darurat, Penting Nggak Sih?



Sebelum menikah, saya adalah orang yang termasuk dalam kategori boros. Saya suka lapar mata ketika belanja ke mall atau sedang makan di tempat makan yang enak. Bisa saja saya beli barang yang tidak saya butuhkan atau menghabiskan uang untuk makan makanan enak dengan harga yang bisa untuk makan seminggu. Prinsip saya saat itu, "kalau uang mau habis itu, artinya mau dikasih lagi."

Memang, rejeki itu selalu ada setiap kali saya butuh. Setidaknya di kondisi keuangan yang super mefet saya masih punya sedikit uang yang setidaknya bisa buat beli indomie atau sereal. Begitu menikah dan saya cerita kebiasaan saya ini kepada suami, saya dimarahi dong. Suami saya bilang kalau prinsip semacami ini tidak bisa selamanya dipegang. Tiap orang itu wajib punya tabungan, minimal tabungan itu digunakan untuk dana darurat. Kalau ada hal-hal yang sifatnya mendesak, dana itu ada.

Sampai September lalu, sebetulnya saya masih belum mengiyakan konsep ini. Allah itu tidak tidur. Ada Allah yang membantu kalau kami kepepet, dst. Sampai saya menyadari kalau tabungan kami berdua yang disimpan dari zaman bujang, sedikit demi sedikit mengikis. 



Setiap kali saya ikut suami ambil uang, saya kaget, "kok duitnya cuma segitu sih di rekening?" Bukan karena curiga, tapi heran saja, sebetulnya uang-uang itu lari ke mana? Bahkan setelah saya lebih rajin masak di rumah pun kondisinya sama, makin tipis. Lalu, suami saya jabarkan bagaimana pembagian keuangan dalam satu bulan. Pemasukkannya dipakai untuk slot apa saja, sisa berapa. Dia jabarkan semuanya.

Qadarullah juga, awal-awal pernikahan kami ujian keuangan itu adaaaa saja. Motor yang kena tilang gara-gara lupa nyalain lampu dan nggak bawa STNK, motor harus service besar yang makan biaya lebih dari 2 juta rupiah. Tagihan air yang terputus karena suami tidak di rumah selama beberapa bulan sebelum kami menikah. Banyak lah. Sampai lupa.



Kami sering saling tatap ketika ada pengeluaran tak terduga lagi. Lalu, kami tertawakan masalah itu bersama. Mau apa lagi? Tidak ada yang bisa kami lakukan. Uang itu memang harus keluar dengan dana yang cukup besar.

Dari sini, saya bersyukur sekaligus belajar banyak hal. Alhamdulillah, suami saya punya uang tabungan lebih untuk membayar semua itu. Saya sendiri juga masih punya tabungan yang bisa digunakan untuk mengcover kebutuhan kami di saat yang benar-benar darurat seperti yang selama ini terjadi. Bagaimana kalau seandainya semua itu tidak ada? Ya, hutang. Hal paling mengerikan lain yang mungkin terjadi adalah terjerat hutang riba. Ini adalah perkara yang begitu kami hindari. 



Belajar dari pengalaman itu, saya belajar bahwa punya dana darurat dan tabungan itu penting. Apalagi setelah tsunami kebutuhan akhir tahun kemarin. Tabungan saya dan suami habis. Wow banget. Menyesal? Tidak juga. Ya karena memang butuh untuk keluarga juga.

Suami saya sebetulnya nggak ngeh kalau tabungan saya habis. Baru tahu setelah dia inspeksi tabungan saya.

"Kok tinggal segitu?"
"Kan buat bayar ini itu," saya jelaskan rinciang pengeluaran saya apa saja. 
"Jangan diulangi lagi, nanti kalau project dari Reza cair aku ganti."

Seneng dong duitnya digantiin. Lumayan bisa buat pasang internet di rumah atau ikut kelas nulis yang lain. Walaupun sampai sekarang juga belum cair sih. 



Jadi, kalau ditanya, "dana darurat itu buat apa sih?"

Jawabannya ya untuk kebutuhan darurat kita. Tiap rumah tangga ujiannya beda. Ada yang dikasih sakit, ada yang dikasih ujian rumah butuh renov karena rusaknya parah, dan ada juga yang dikasih ujian hal-hal lain yang tidak bisa kita prediksi sebelumnya.

Berapa sih dana darurat yang harus ready di tabungan kita?

Ini sebetulnya tergantung dari siapa objeknya. Kalau single, minimal bisa cover kebutuhan bulanan selama 6 bulan. Kalau sudah menikah dan belum punya anak, minimal bisa cover selama 9 bulan. Kalau sudah menikah dan punya anak, minimal bisa cover selama 12 bulan.

Sebanyak itu pengalinya. bahkan kalau anaknya banyak, dana darurat yang disiapkan mestinya juga semakin besar. 

Terus gimana caranya mendapatkan uang sebanyak itu?

Ya nabung. Kita perlu menghitung kembali dan merencanakan keuangan kita. Income yang masuk ini masuk ke slot wajib berapa rupiah sih? Kalikan dengan faktor pengali di atas untuk mendapatkan target dana darurat yang ingin kita kumpulkan.

Selebihnya, kita bisa mulai menyisihkan pemasukkan kita ke tabungan ini. Bisa 10%, 20%, atau berapa saja boleh asal sanggup. Punya target waktu lebih baik. Kita jadi lebih ngerem diri untuk nggak gampang jajan sih kalau kita punya target jumlah dan waktu itu.

"Kalau aku, Lel. Nabungnya pakai banyakin sedekah. Allah juga akan bukakan pintu rizki juga kan kalau dengan sedekah."

Sedekah mah wajib. Nggak perlu diingetin mestinya. Mau lapang, mau sempit, sedekahlah. Nggak cuma dengan senyum ya kalau bisa. Berikan lebih. Kita punya apa yang bisa dibagi, bagikan.

Menyiapkan dana darurat adalah ikhtiar kita yang lain untuk menghindari hal-hal yang tidak kita inginkan. Lagi pula Rasulullah tidak pernah melarang kita untuk jadi kaya kok. Emang bisa dadakan kaya kalau setiap kali gajian uangnya habis terus? Bukan masalah berapa gaji yang kita terima lho ini, tapi tentang bagaimana kita mengelola keuangan kita.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.