Lajang VS Menikah, Apanya yang Berubah?

Januari 16, 2019


Ada banyak sekali hal yang berubah dalam diri saya setelah saya menikah. Mulai dari gejala PMS yang berubah, bagaimana cara mengelola keuangan berubah, cara mengatur rumah berubah, hingga mulai beranjak pada menu makan yang sehat lagi. Jadi, kali ini saya mau berbagi tips based on perubahan yang terjadi pada diri saya.

Hamil?



Setelah menikah, pertanyaan “sudah isi?” itu pasti akan merajalela. Beberapa orang maksa nanyain kapan mau hamil, sedangkan yang lain kemudian auto mendoakan ketika saya jawab belum. Sebetulnya agak kesel juga ya kalau ditanya kapan gitu. Pasalnya, eike bukan Tuhan cyiin. Ya mana tahu kapan hamilnya. Saya dan suami cuma bisa berusaha semaksimal mungkin. Mulai dari nyari tahu kapan masa subur, mulai makan-makanan sehat, konsumsi vitamin E, rutin berhubungan suami istri, sampai ikhtiar mengembalikan siklus mens yang berantakan sejak kuliah S2 dulu. Tapi ya belum rejekinya, mau gimana lagi?



Pola PMS saya setelah menikah juga berubah. Kalau dulu paling bete, pegel-pegel, mood swing, sekarang ditambah dengan mual muntah. Nggak bisa nyium bau yang aneh-aneh. Dulu, pertama kali mengalami hal semacam ini saya kira saya hamil. Ternyata tidak. Gejalanya saja yang begini. Dua kali, tiga kali, empat kali, sudah biasa aja. Nggak baper lagi ketika tiba-tiba lihat darah. Pernah sih agak worry dengan perubahan hormon yang semacam ini. Tapi kalau saya baca-baca lagi, ini normal. Memang ada perempuan yang ketika PMS semacam ini.


Bye KonMarie Book

Saya ini sebetulnya bukan orang yang berantakan banget ya. Tapi juga bukan orang yang hidupnya super rapi gitu. Dua siklus rapi dan berantakan itu sering hadir dalam hidup saya sehari-hari. Jadi, kalau lagi males beberes gitu kamar saya udah macem kapal pecah gitu. Pernah nonton drama Jepang Nodame Kantabele? Kamar saya bisa mendekati kamar Nodame kalau lagi super males gitu. 

Kalau berantakan ya bisa seperti ini


Tapiiii... bisa auto super clean kalau udah benar-benar sumpek lihat yang semacam itu. Sebetulnya, saya sadar sih kalau pola semacam ini nggak bisa diterus-terusin. Saya harus berubah sebelum saya menikah. Apa jadinya anak saya nanti kalau ibunya secuek itu soal kebersihan dan kerapian rumah. Jadi, mulailah saya nonton youtube channel yang bahas tentang how to organize gitu. Lalu, saya nemu satu metode yang paling banyak dibahas sama vlogger yang suka beberes, yaitu KonMarie Methode. Metode ini dibawa oleh Marie Kondo yang sekarang sudah banyak sekali dipakai oleh orang-orang di seluruh dunia. Katanya sih, rumah bisa lebih awet rapinya. 

Saya tertarik dong. Mulailah cari referensi tentang itu. Alhamdulillahnya lagi, kok ada temen yang sama-sama pingin belajar beberes dan meminjami saya bukunya KonMarie ini. Mulailah saya membaca buku itu. Belum tamat sih bukunya. Agak nggak seru aja baca buku terjemahan. Aneh kan bahasanya. Tapi tiap kali baca buku itu, saya jadi tergerak untuk beberes. Akhirnya, setiap kali saya males beberes, ketika kamar saya udah mulai nggak karu-karuan, saya lanjutkan membaca biar macem digetok Mbak Marie Kondo gitu. 

Ini bukan rumah saya ya, tapi sekarang sudah bisa serapi ini


Eh, kok saya nikahnya sama orang yang well-organize. Suami saya nggak suka kalau saya naruh barang acak seperti yang biasa saya lakukan dulu selama masih jomblo. Suami saya juga nggak suka kalau saya ngerjain sesuatu mepet deadline gitu. Biasanya, kalau saya cerita saya pingin ikut lomba atau punya PR kelas online, suami saya yang akan ingetin saya terus untuk segera menyelesaikan itu. Dan suami saya nggak suka kalau saya mulai pelupa ketika aktivitas saya makin banyak.

“Kenapa sih suka lupa?”

Yakan saya nggak pingin lupa-lupa gitu ya. Tapi emang dadakan jadi pelupa kalau punya banyak hal yang harus segera diselesaikan. So, saya mulai pakai jurnal untuk arrange semua aktivitas harian saya, apa yang mau saya tulis di blogpost, dan beragam to do list yang harus saya selesaikan hari itu juga. And it helps me a lot. 

Journaling tidak hanya membantu nge-arrange jadwal tapi bantu kita buat menyelesaikan semua itu pelan-pelan


Saya juga mulai meninggalkan bukunya Mbak Marie Kondo untuk ngasih semangat ke diri sendiri ketika males beberes. Cukup ingat suami yang mungkin bakal lebih capek kalau lihat rumah berantakan. Itu aja sih. Jadi, saya mulai membiasakan meletakkan sesuatu pada tempatnya lagi. Nggak naruh apa-apa sembarangan lagi. Rumah jadi awet rapinya, mudah nyari barang juga, karena sudah tahu post masing-masing.

Start Saving Money

Ini salah satu perkara yang beda banget dari jaman sebelum nikah. Juju raja, dulu saya itu nggak primpen banget kalau soal ngatur duit. Punya gaji berapa aja ya habis gitu. Waktu kuliah, saya dikasih uang jajan 400 ribu rupiah sebulan. Itu di bawah rata-rata sih, sedangkan teman saya biasanya punya duit 600ribu per bulan. At least mereka nggak perlu galau antara fotocopy sama makan. Jadi, kalau saya nggak punya duit tabungan karena punya uang jajan yang ngepres banget. Itu wajar. 

Duitnya nggak dollar juga, tapi mudah banget buat spend money dulu

Waktu S2 saya sudah mulai ngajar di salah satu universitas swasta. Punya gaji 2 juta lebih. Tapi ternyata saya masih susah juga nabung. Pengeluaran pasti tiap bulan. Ternyata lebih dari 2 juta. Astaghfirullah. Itu belum kalau saya dadakan butuh fotocopy, butuh beli buku referensi yang harganya nggak mungkin puluhan ribu.


Kerja di PENS gaji pokok saya turun tapi saya punya banyak uang ceperan gitu. Ini yang bikin gaji yang saya terima tiap bulannya bervariasi. Ada di range 2 juta-di atas 10 juta. Tapi ya gitu, tetap nggak punya tabungan. Kenapa? Karena saya gatel kalau punya duit banyak.


Pernah nggak sih saya stress kalau lagi nggak punya duit gitu? Nggak juga. Karena saya dulu punya prinsip, “kalau duit mau abis, artinya mau dapat rejeki yang baru.” Ini satu pembenaran untuk bisa stay dengan gaya hidup semacam itu. Dengan gaji yang ngepres banget buat kebutuhan harian, saya masih berani makan enak yang sekali makan bisa 50ribu lebih. Padahal itu kalau dikonversikan ke makanan sehat yang beli di Warung Harta Berlimpah bisa dipakai makan hampir 5 kali.


Begitu nikah dengan Bapak Ghoffar saya jadi seperti punya financial adviser pribadi. Waktu saya mau pasang ulang behel, saya nggak cerita sih ke suami. Tapi karena duit tabungan nggak cukup, akhirnya cerita juga. Wkwkkwkwk..

“Aku sebetulnya mau pasang pakai duit sendiri. Tabunganku ada sekian, kalau harga behel ada di range 6-7 jutaan, aku masih bisa handle lah.”
“Terus duit Adek habis gitu?”

Intinya, saya nggak boleh menggunakan seluruh uang tabungan saya. Kalau mau pakai silahkan sih, tapi saya harus punya saving money yang memungkinkan untuk dipakai memenuhi kebutuhan harian selama beberapa bulan. Hal serupa juga terjadi ketika saya menawarkan uang tabungan saya untuk beli lemari dan kasur untuk kamar kami. Suami menolak karena lagi-lagi itu bisa bikin uang tabungan saya habis.

Segitu care-nya suami dengan tabungan saya. Kalau ada yang tanya apakah nanti suami bakal pakai? Sejauh ini nggak ada niatan begitu. Suami saya dari sebelum menikah sudah declared kalau nggak mau pakai uang saya sih. Jadi ya semua itu dilakukan memang buat saya.

Suami saya juga ngajarin nyimpan uang dengan cara lain. Kalau ditaruh di rekening tabungan kan bisa aja kepakai-paki terus kan. Jadi kata suami sih mending nyimpennya dalam bentuk emas aja. Ada yang pernah protes ke saya ketika saya kasih saran buat saving money dengan emas.

Bentuknya kurang lebih begini, beli yang seperti ini, jangan perhiasan

“Mbak Lel, itu nggak bisa naik duitnya.”

Ya siapa bilang kalau duitnya bisa naik. Kalau rupiah kena inflasi, yes, duit yang kita dapet dari jual emas bisa tinggi karena memang harga ema situ cenderung stabil banget. Tapi kalau rupiah baik-baik saja. Ya Cuma semacam nyimpen duit dalam bentuk lain aja.

Apa sih manfaatnya? Keribetan buat jual dulu sebelum pakai itu bikin kita jadi nggak sembrono untuk asal pakai tabungan itu. Dan lagi saving emas itu lebih aman dari riba kalau kita paham cara belinya. I mean, belinya langsung ke toko emas gitu.

Oya, kalau mau simpen emas, belinya jangan yang perhiasan. Karena nilai tukarnya bisa jatuh kalau dijual. Sebaiknya belie mas batangan aja. Jadi sekiranya butuh banget, pas dijual nilai tukarnya tetap.

Kenapa sih nggak simpan duit pakai deposito aja? Lebih mudah kan? Kalau emas nyimpennya di mana? Bawah bantal? 



Salah satu pertimbangan kami untuk tidak menggunakan deposito adalah karena ada bunga di sana. iya sih kalau nyimpen makin lama kami akan diuntungkan dengan bunga itu. Tapi riba. Makanya, kami pilih emas untuk mendepositokan uang kami. Cara menyimpannya juga nggak di bawah bantal dong. Kita bisa lho sewa brankas di bank. Kalau di Bank Mandiri, setahun harga sewanya cuma serratus ribu rupiah. Lumayan kan? Hitung-hitung itu biaya admin lah ya. Toh ya aman kan simpan di situ.

Oya, ini nggak Cuma perhiasan aja ya yang bisa disimpan. Tapi surat-surat berharga pun bisa. Dari pada hilang kan ya, mending disimpan di situ aja.

Intiya sih, setelah menikah ada banyak sekali hal yang berubah. Saya beruntung punya suami yang mau telaten ngajari saya, sabar nunggu saya berproses. Iya sih pernah protes tapi itu setelah saya menjadi-jadi. Lalu, setelah protes suami saya coba cari solusi bersama seperti apa. Saya banyak berubah setelah menikah karena ada banyak sekali hal yang saya pelajari. Sudut pandang saya juga tidak lagi sama seperti sebelumnya. Cara saya menyelesaikan masalah di dalam rumah maupun luar rumah juga berbeda tentunya. Saya hanya berharap bahwa perubahan ini bisa terus menerus membawa dampak positif untuk diri saya sendiri, supaya saya bisa menjadi pribadi yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Aamiin...

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.