Komunikasi Produktif #3: Seni Mengingatkan


Saya ini manusia biasa yang juga menikah dengan manusia biasa pula. Bukan Nabi, apalagi Hulk. Sebagai manusia biasa, namanya salah dan khilaf itu pasti. Saya bisa salah, suami juga bisa salah.

Ada salah satu riwayat yang saya tiru setelah saya menikah. Minggu awal pernikahan kami saya gunakan untuk memastikan beberapa hal yang belum disepakati saat ta’aruf dulu. Atau menegaskan sesuatu yang belum clear. Salah satunya adalah bagaimana kami harus mengingatkan satu sama lain.

“Kalau Mas salah, Mas maunya diingatkannya gimana?”
“Ya langsung aja ingetin.”
“Kalau lagi di depan banyak orang?”
“Tunggu sampai kita lagi berduaan aja.”

Dari sini, sebetulnya sudah cukup jelas batas yang diharapkan suami saya ketika saya hendak mengingatkan Beliau. Boleh mengingatkan, tapi tahu sikon.

Sayangnya, ada kalanya kami dihadapkan pada kondisi di mana kami harus mengingatkan satu sama lain saat itu juga. Sedang kami sedang ada di kerumunan banyak orang, misalnya sedang kumpul keluarga. Dalam kondisi seperti ini, biasanya suami menarik saya ke kamar sebentar. Kalau saya, biasanya akan membisikkan sesuatu ke telinga suami.

Meski punya kesepakatan dalam mengingatkan, faktanya seringkali sulit untuk menerima ketika diingatkan. Naluri untuk mempertahankan diri masing-masing keluar. Jadi, kalau saya dimarahin suami, saya balik ngomel. Suami juga begitu.

Lalu, kami coba cara baru untuk mengingatkan satu sama lain, yaitu dengan bertanya. Kenapa kami melakukan kesalahan tersebut. Ambil satu contoh, ketika sedang futur, ngaji lepas sholat subuh skip beberapa hari, yang ingat sudah memberikan contoh, maka jalan lain yang dilakukan adalah bertanya.

Cari waktu yang tepat untuk ngobrol. Obrolan biasanya dibuka dengan obrolan ringan, guyonan, lalu masuk ke pertanyaan inti.

“Mas, kenapa kok belakangan nggak ngaji?” kalau suami yang keliru.

Atau

“Adek kok sekarang abis Subuh kenapa nggak ngaji?” kalau saya yang keliru.

Biasanya kami akan terbuka untuk menyampaikan kesulitan yang sedang kami rasakan. Iya, futur itu berat. Sudah tahu salah, tapi mau berubah itu berat.

Sesi curhat selesai, masuk ke solusi. Di sini biasanya kami sepakat membuat program baru. Satu sama lain punya program pribadi yang disampaikan. Misal, mulai mengurangi main HP, mulai besok diupayakan ngaji, dan seterusnya. Program ini disampaikan agar kami bisa saling mengingatkan satu sama lain. Pemantauan ketika program tidak berjalan juga ada. Jadi bisa saling menjaga.




Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.